Indonesia Mandiri Bersama Keringat Emas Petani

Indonesia Mandiri Bersama Keringat Emas Petani

Ketahanan pangan adalah amanat Undang-undang Dasar 1945 yang tertuang dalam pasal 27 ayat (2) dan 33 ayat (4)yang akan tercapai dengan adanyaketersediaan pangan (food availability) dan keterjangkauan pangan (food accessibility) seperti yang tersirat dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan. Petani adalah pejuang bangsa yang berjasa dalam menyediakan pangan di Indonesia, sedangkan peran pemerintah adalah mengatur distribusinya agar dapat terjangkau secara merata. Oleh karena itu, kepedulian pemerintah dalam menghargai keringat emas petani adalah kunci dari tercapainya kemandirian pangan di Indonesia.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pahlawan. Petani adalah salah satu pahlawan bangsa, terutama pahlawan dalam bidang ketahanan pangan. Akan tetapi kenyataan yang terjadi di Indonesia, nasib petani sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat berdasarkan data BPS (2010) yang menunjukkan bahwa 72 persen orang miskin berada di sektor pertanian. Keringat petani yang berjasa dalam menyediakan pangan di Indonesia tidak lebih dari kerendahan martabat sebagai manusia yang bekerja kasar atau termasuk dalam kaum miskin, padahal pada hakekatnya keringat petani adalah emas yang menjadi sumber kemakmuran bangsa.

Dampak dari tidak dihargainya keringat petani ini mengakibatkan pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, dan masih ketergantungan terhadap imporpangan.

Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

Hal-hal yang menyebabkan Indonesia sulit mencapai kemandirian pangan adalah anggaran untuk fungsi pertanian rendah, pembiayaan sektor pertanian kecil, terjadinya pengalihan lahan produktif pertanian, ketiadaan lembaga stok nasional, kebijakan pembebasan bea masuk impor beras, inkonsitensi kebijakan pangan dan Nilai Tukar Petani (NTP) sangat rendah , yakni hanya 104,68 pada bulan Maret 2013.

Kebijakan yang diambil pemerintah merupakan hasil dari pemikiran para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan. Dalam setiap pembuatan kebijakan mungkin mereka melihat kondisi rill pangan di indonesia saat ini, tetapi suatu sudut pandang atau perspektif atas suatu masalah yang dipakai sangat menentukan kebijakan yang diambil. Ibarat sebuah mobil, perspektif adalah sebuah setir yang menetukan kemana arah kebijakan tersebut akan dibawa. Jadi perspektif pangan pemerintah akan menentukan tujuan dan arah yang ingin dicapai.

Melihat kondisi pangan saat ini, pemerintah harus menyadari bahwa orientasi produksi yang diyakini bukan merupakan salah satu cara yang terbaik dalam mencapai ketahanan pangan. Ketika pemerintah mencapai swasembada beras bukan berarti pemerintah telah memiliki ketahanan pangan yang kuat karena ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kecukupan pangan yang dapat diartikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk hidup aktif dan sehat. Kedua akses pangan yang meliputi hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan dan menerima pangan. Ketiga adalah ketahanan yang meliputi keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu ketahanan pangan yang bersifat kronis, transisi, atau siklus. Jadi swasembada pangan hanyalah salah satu faktor dari ketahanan pangan.

Jika kita menilik stabilitas pemerintah ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu stabilitas pangan, politik dan pertahanan. Ketiga hal itu mutlak harus diraih oleh suatu negara sehingga ia mampu berdikari diatas tanahnya. Jika makan sehari-hari kita masih disokong oleh impor maka harapan pencapaian ketahanan pangan berkelanjutan masih jauh dari genggaman. Sayangnya hal itu kurang disadari oleh pemerintah.Usaha untuk mereduksi impor bahan makanan pokok juga menuai kritik dari kalangan birokrat. Padahal manfaat yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan jauh lebih besar. Misalnya, pemerintah akan lebih fokus memberdayakan petani Indonesia yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia sehingga tingkat kesejahteraan mereka akan meningkat.

Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan jumlah petani yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Walaupun saat ini lahan pertanian semakin sempit namun akses pekerja di bidang pertanian semakin banyak. Fenomena diatas bukan terjadi karena bidang pertanian adalah pelarian bagi para pengangguran, tetapi disebabkan oleh pandangan hidup mayoritas masyarakat Indonesia. Kegiatan bertani yang dilakukan bukan semata mata pencaharian, tetapi sebagai kebudayaan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Mubyarto "Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian adalah sebuah cara hidup (the way of life) bagi sebagian besar petani di Indonesia".

Pertanian yang menjadi jiwa atau karakter bangsa Indonesia hendaknya menjadi prioritas objek pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa. Menghargai keringat petani dengan menjaga harga minimal penjualan hasil pertanian dengan serius adalah langkah kongkrit yang saat ini dibutuhkan bangsa Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. Karena saat ini harga produk pertanian dimainkan oleh para tengkulak. Kembalikan karakter perekonomian Indonesia yang menggunakan sistem koperasi untuk menyelamatkan penjajahan kaum kapitalis di Indonesia.***


Artikel ini ditulis oleh :

Wakid Mutowal

Penyuluh Pertanian Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah

Mahasiswa S2 Jurusan Pertanian Lahan Kering

King Abdul Aziz University, Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia