Sawah merupakan salah satu sumber utama emisi metan. Emisi metan dari tanah sawah berasal dari penggenangan sawah pada proses pelumpuran dan penggunaan pupuk. selain itu, metan juga dihasilkan dari aktivitas sektor pertanian pada proses pembusukan limbah usahatani dan limbah ternak. Emisi metan dari sawah diperkirakan lebih dari 170 Tg/tahun (260% dari budget CH4 antropogenik global). Lebih dari 90% metan terlepas dari tanah sawah ke atmosfer lewat tanaman padi, karena tanaman padi mempunyai ruang aerenkhima dan intersel sebagai media pengangkutan CH4 dari tanah tereduksi ke atmosfir. Lebih dari 80% metan yang dihasilkan tersebut dioksida di sekitar perakaran tanaman padi (rhizofir).
Sektor Pertanian merupakan salah satu sektor pembangunan yang paling rawan terkena dampak perubahan iklim. Menurut The First National Communication, secara umum sektor pertanian menghasilkan emisi GRK hanya sekitar 8%. Namun sektor ini menghasilkan emisi gas metana tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Emisi GRK berupa gas metana (CH4) lainnya yang dilhasilkan oleh sektor pertanian berasal dari subsektor peternakan. Gas Metana dilepaskan dari kotoran ternak yang membusuk.
Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, kenaikan suhu udara, dan peningkatan kejadian ekstrim berupa banjir dan kekeringan yang akan berdampak serius terhadap sektor pertanian. Indikasi perubahan iklim terlihat pada peningkatan terjadinya bencana selama periode 2003-2005 dengan 1.429 kejadian bencana yang terkait dengan hidrometeorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006) Bencana banjir dan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim akan mempengaruhi produktivitas berbagai komoditas pertanian serta keragaan sumberdaya lahan dan air.
Dampak perubahan iklim menjadi tantangan bagi sektor pertanian guna mewujudkan program swasembada atau ketahanan pangan, seperti yg pernah di capai pada tahun 1980-1982. Untuk itu, sector pertanian harus segera mensikapi kondisi ini dengan melakukan mitigasi dampak perubahan iklim dan menentukan strategi adaptasi agar ketahanan pangan dapat diwujudkan.
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Mitigasi dampak perubahan iklim di sektor pertanian merupakan suatu upaya menekan emisi metan tanpa mengurangi produksi. Langkah-langkah strategis yang diambil antara lain :
- Melakukan usahatani hemat air dengan mengurangi tinggi genangan pada lahan sawah. (mengurangi aktifitas bakteri methanogen yg hidup di genangan air dengan mengurangi ruang hidupnya)
- Melakukan pengairan berselang (Intermitten) Aerasi tanah dalam waktu singkat dapat mengurangi gas metan selain mengefisienkan penggunaan air pengairan. Pengairan berselang atau intermitten efektif mengurangi emisi gas metan berkisar 17 - 66% daripada pengairan terus menerus karena metoda ini dapat memutus daur hidup bakteri methanogen.
- Seleksi varietas padi (genjah dan tahan kekeringan). Penanaman varietas unggul baru yang mengeluarkan eksudat akar rendah. Hasil penelitian yang dilaksanakan di ekosistem sawah irigasi dan tadah hujan di Kabupaten Pati menunjukkan ternyata varietas IR64, IR36, Tukad Balian, dan Ciherang karena dapat mengurangi emisi metan tanpa mengurangi produksi padi.
- Penggunaan Bahan Organik Matang (kompos) Kompos menghasilkan metan per unit karbon relatif rendah daripada pupuk hijau atau jerami segar. Penggunaan bahan organik matang dengan rasio C/N rendah (pupuk kandang dan kompos jerami) dapat mengurangi emisi gas metan.
- Pemupukan yang cukup terutama hara fosfor (P) menurunkan eksudat akar yang berakibat menurunkan emisi metan.

- Penggunaan bahan penghambat nitrifikasi.
- Mekanisme Tanpa Olah Tanah (TOT). Mekanisme TOT dapat mengurangi 30% kondisi anaerob dalam tanah dibanding budi daya padi sawah umumnya (Orbanus Naharia). Anaerob ini merupakan kondisi ideal bagi kehidupan bakteri anaerob. Mereka mengurai bahan organik yang berasal dari eksudat dan degradasi akar menjadi asetat dan karbondioksida (CO2). Karbondioksida hasil penguraian tadi bereaksi dengan H2 menghasilkan gas metan. Sistem air tergenang (pelumpuran), tanah diolah, kemudian dibajak akan menciptakan kondisi anaerob. Hal ini menimbulkan emisi gas metan dari tanaman padi sawah ke atmosfer. Emisi gas CH4 harian meningkat seiring dengan turunnya redok potensial tanah, emisi CH4 meningkat pada 54 dan 68 HST. Perlakuan TOT menekan emisi gas CH4 sebesar 65% lebih rendah dari OTS (Olah Tanah Sempurna). Jika penanaman padi dengan TOT dan pemasukan kembali bekas tanaman padi musim sebelumnya/jerami, biasa disebut "˜walik jerami"™ 124% lebih rendah dari OTS (Untung S, 2000). Penerapan cara tanam sebar langsung (tabela) selain mengurangi gas metan juga tidak menurunkan hasil.
- Mencegah alih fungsi lahan pada lahan-lahan produktif sekaligus mengurangi aktifitas pembakaran hutan untuk pembukaan lahan pertanian baru. Perluasan areal diarahkan pada lahan lahan yang sudah dibuka tetapi sudah lama tidak produktif/tidak dimanfaatkan.
- Mengembangkan sistem irigasi yang ramah lingkungan untuk menggurangi pemakaian bahan bakar seperti PATM (Pompa Air Tanpa Mesin), kincir air, kincir angin dll.
- Mereklamasi ex lahan pertambangan
- Mengembangkan Sistem Wanatani (agroforestry) untuk mereduksi konsentrasi CO2
Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim
Strategi adaptasi yang dilakukan sektor pertanian yang berkaitan dengan perubahan iklim dilaksanakan melalui upaya perbaikan penanganan dibidang :
a. Data dan Informasi :
- Mengefektifkan pemanfaatan informasi prakiraan iklim sebagai bahan analisis terjadinya perubahan iklim.
- Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan data pengamatan dari stasiun yang ada untuk mempelajari fenomena iklim dan sumberdaya air wilayah dengan akurasi, validasi dan kontinuitasnya.
- Meningkatkan pemanfaatan peta wilayah rawan kekeringan sbg informasi awal dalam memantau kekeringan dalam kondisi iklim normal.
- Mengembangkan sistem deteksi dini kekeringan (early detection system for draught) secara spasial dan temporal, dengan memanfaatkan stasiun iklim otomatis dan sarana telekomunikasi tersedia.
- Pengembangan sistem data base tanah, air dan iklim termutahirkan disetiap tingkat daerah otonomi (PEMPROP/PEMKOT/PEMKAB), sebagai matarantai sistem database sumberdaya lahan, sumberdaya air dan iklim tingkat Nasional. Selanjutnya sistem ini akan menjadi pondasi utama sistem peringatan dini terhadap bencana kekeringan dan banjir.
b. Usahatani :
- Melakukan analisis dampak anomali iklim terhadap pergeseran musim untuk penentuan awal musim tanam.
- Melakukan pengaturan dan penerapan pola tanam sesuai anjuran yang spesifik lokasi berdasarkan kondisi agroklimat setempat serta menggunakan varietas berumur pendek (genjah) serta tahan kekeringan.
- Melakukan percepatan tanam dengan teknologi tepat guna antara lain pengolahan tanah minimum (TOT/Tanpa Olah Tanah) atau Tabur Benih Langsung (TABELA).
- Mengembangkan teknologi hemat air dengan mengintensifkan lahan basah saat El Nino & lahan kering saat La Nina.
- Mengintroduksi teknologi hemat air melalui sistem irigasi : sprinklerirrigation, trickle irrigation, intermitten irrigation dan sebagainya 6) Mengembangkan System Rice Intensification (SRI) dan Pengelolaan
- Tanaman Terpadu (PTT) dalam rangka usahatani hemat air.
c. Sarana dan Prasarana Irigasi :
- Memperbaiki saluran-saluran irigasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan air irigasi dengan rehabilitasi/ perbaikan prasarana irigasi untuk menekan/mengurangi kehilangan air karena bocoran atau rembesan air irigasi
- Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya air altematif baik air permukaan maupun air tanah dengan teknologi pompa air untuk meningkatkan Intensitas Pertanaman (IP).
- Mobilisasi pompa dengan gerakan partisipatif bagi daerah yang masih tersedia sumber air.
- Mengoptimalkan sistem gilir-giring dalam distribusi air irigasi (intermitten).
d. Konservasi :
- Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki catchment area sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi lahan, baik dengan metode mekanis (seperti pembuatan terasering dan sumur resapan) maupun vegetatif
- Melakukan konservasi air dengan pemanenan air hujan dan aliran permukaan (rain fall and run off harvesting) pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada saat terjadi krisis air terutama pada musim kemarau. Pemanenan dilakukan dengan menampung air hujan dan run off melalui pembuatan embung.
- Mengembangkan Teknologi Dam Parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran dan meresapkan air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap efektif karena secara teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan mengairi areal yang relatif luas karena dapat dibangun berseri (cascade series).
e. Kelembagaan
Memberdayakan kelembagaan P3A sehingga mampu melakukan pengelolaan air secara efisien dalam rangka upaya-upaya antisipasi dampak perubahan iklim. Memberdayakan Kelompok Tani dalam mengatur jadwal tanam dan menentukan awal musim tanam. Meningkatkan kemampuan petugas lapang sebagai pendamping petani melalui pelatihan, sekolah lapang (SL PHT, SL Iklim, dll) dan bentuk transfer teknologi lainnya.
Prioritas Penanganan
Kegiatan yang akan diangkat untuk mendukung peta permasalahan sumber energi dan dampak perubahan iklim dari pelaksanaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim sektor pertanian adalah konservasi air dalam menanggulangi kelangkaan air. Alur pikir yang dituangkan dalam causal loop kegiatan ini adalah sebagai berikut :

Pemilihan kegiatan konservasi air sebagai prioritas penangan antara lain disebabkan karena semakin seringnya terjadi bencana banjir dan kekeringan yang melanda lahan "“ lahan pertanian sebagai dampak perubahan iklim dan rusaknya DAS (Daerah Aliran Sungai). Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) menyebabkan kemampuan lahan menyimpan air menjadi berkurang sehingga air hujan yang jatuh tidak dapat ditahan oleh tanah dan langsung dialirkan kembali ke laut. Berkurangnya daya tampung cathment area tersebut menyebabkan banjir saat musim hujan dan sebaliknya terjadi kekeringan di musim kemarau. Konservasi air pada dasarnya adalah upaya memanen hujan "Water harvesting" dengan cara menampung air hujan dan limpasan dalam suatu wadah sebagai cadangan air di musim kemarau.
Kesimpulan
Pengembangan bangunan konservasi air selain untuk mengatasi kelangkaan air, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan masa tanam, luas tanam, indek pertanaman, dan produktivitas. Untuk memanfaatkan air hasil konservasi air secara optimal, maka diperlukan teknologi irigasi yang memadai sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. Banjir dan kekeringan yang melanda lahan-lahan usahatani tidak sepenuhnya disebabkan dampak perubahan iklim. berdasarkan pemantauan di lapangan, banjir dapat pula disebabkan oleh kapasitas tampung Daerah Aliran Sungai yang semakin berkurang, rusaknya jaringan drainase dan terjadinya alih fungsi lahan. Sedangkan kekeringan terjadi karena banyaknya praktek "gadu nekat" yang tidak menjalankan kesepakatan pola tanam, Banyaknya pencurian air "illegal pumping" disepanjang jaringan, tidak ditaatinya kesepakatan golongan air, tidak adanya sumber air alternative, infrastruktur irigasi rusak serta prioritas alokasi air antar sector domestic, munisipal, industrial dan pertanian.
Ditulis Oleh : Baskoro Aji